Kami terbangun sekitar pukul 5.30 pagi, setelah melakukan
ritual salat subuh dan mandi saya keluar kamar tempat kami menginap. Suasana
kota Solo yang hangat dengan penduduknya yang ramah membuat kami merasa nyaman.
Penginapan juga menyediakan penganan ringan berupa teh hangat dan jajanan pasar
sekadar untuk penunda lapar.
Kemudian saya menuju ke parkiran untuk mengecek motor dan
melakukan persiapan kendaaran untuk melanjutkan perjalanan hari ini. Setelah
memastikan kondisi kendaraan dalam kondisi yang baik kami packing dan siap
melanjutkan perjalanan hari ini dengan target sampai ke Pulau Bali.
Kami
sempat bertanya dengan petugas hotel arah mana yang paling tepat untuk menuju
kearah timur pulau Jawa, niat awal kami ingin melalui Tawangmangu namun dicegah
oleh petugas hotel tersebut dengan pertimbangan lebih jauh dan medan terlalu
berat. Padahal saya penasaran juga sebenarnya ada apa sih di Tawangmangu, ya
sudah diurungkan saja dan langsung menuju kota Sragen. Tepat pukul 8.00 pagi
kami berangkat tetap dengan kebingungan keluar kota Solo karena terlalu banyak
jalan satu arah. Kondisi lalu lintas saat itu tidak begitu ramai hanya truk dan
bis antar kota yang mendominasi jalanan. Beberapa jam kemudian kami tiba di
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lagi-lagi ini sebuah pencapaian untuk
saya karena pertama kali menggunakan sepeda motor melewati garis batas wilayah
antara kedua provinsi ini.
Berbicara tentang kota Ngawi, kata Ngawi sendiri berasal dari
kata awi, bahasa Sanskerta yang berarti bambu dan mendapat imbuhan kata ng
sehingga menjadi Ngawi. Dulu Ngawi banyak terdapat pohon bamboo, kalau sekarang
sih jangan ditanya, sepanjang jalan tidak menemukan pohon bambu tuh. Hehehe.
Setelah berfoto ria, motor kami arahkan menuju kota Caruban,
padahal awalnya saya pengen ke kota Madiun untuk nyicipin pecel khasnya, namun
karena jadwal kami sudah terlalu molor maka kami memilih jalur yang lebih
cepat.
Tiba di kota Caruban kok rasanya nih perut tidak bersahabat
ya, terlalu banyak marching band yang gelar konser. Hahaha. Kemudian saya
memanggil Ayal,
“Yal, laper nih cari makan dulu kita!”
“Oke fal!” pungkas Ayal sambal mencari tempat makanan yang
sesuai selera.
Akhirnya kami memilih untuk sarapan Sate Gule Kambing atau
mungkin sekalian makan siang ya karena sudah hampir pukul 10.30 kami tiba di
kota ini. Makan daging kambing konon bikin kuat kan katanya. Kuat apaan?
Silakan jawab sendiri. Hahaha
Istri pak Mardi kemudian datang dengan mimik heran, ini ada
mahluk darimana sih datang dengan pakaian hitam-hitam. Hahaha
“Pesan apa mas?”
“Gimana kalau kita pesan gule kambing 2 terus sate juga”
pungkas Ayal
Dalam hati ini lapar apa doyan yak. “Boleh.. boleh” dengan
ekspresi sok gak mau padahal mau banget.
Tidak
perlu tunggu waktu lama 20 tusuk sate, 2 porsi gule kambing dan nasi tambah
sama es jeruk sudah pindah dalam perut kami. Kenyang total tinggal tunggu
mengantuk saja nih.
Kondisi udara yang panas membuat diri ini ingin duduk
berlama-lama saja di dalam warung tapi perjalanan hari ini masih panjang.
Dengan semangat menggebu-gebu kami lanjutkan perjalanan hari ini. Beberapa kali
kami menemui kemacetan dikarenakan banyak perbaikan jalan untuk mengejar
lebaran. Terjadi penumpukan kendaraan karena banyak jalan yang ditutup searah.
Tengah hari kami tiba di kota Sidoarjo, kota dimana terjadi bencana
nasional yang disebabkan oleh segelintir pihak. Melihat kondisi kota ini saya
prihatin mengingat banyak sekali yang menjadi korban dan masih banyak diantara
mereka yang belum mendapatkan ganti rugi dari bencana ini.
Banjir lumpur panas Sidoarjo, juga dikenal dengan sebutan
Lumpur Lapindo atau Lumpur Sidoarjo (Lusi), adalah peristiwa menyemburnya
lumpur panas di lokasi pengeboran Lapindo Brantas Inc. di Dusun Balongnongo
Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia,
sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama beberapa bulan ini
menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di
tiga kecamatan di sekitarnya, serta memengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa
Timur. Dalam hati harus ada yang bertanggung jawab atas kejadian ini. Ini bukan
bencana alam tapi bencana yang disebabkan oleh manusia. Kalau bukan karena
ketamakan tidak akan terjadi.
Kemacetan juga tak dapat dihindari di kota ini, banyak bis
dan truk yang melintas untuk menuju kota Malang. Bahkan boks motor saya sempat
tersangkut di truk. Sudah tidak fokus dengan jalanan karena kondisi cuaca dan
lalu yang tidak bersahabat membuat suasasa sudah tidak kondusif. Setelah
melewati kota Pasuruan kami memutuskan untuk istirahat sejenak melepas dahaga,
saya memesan segelas jus untuk menjaga kondisi tubuh agar tetap fit karena
perjalan kami masih panjang. Kalau kata mama tidak boleh sakit. Hehehe.
Setelah
beristirahat kurang lebih 15 menit kami melanjutkan perjalanan dan saat itu
saya sudah mulai punya firasat kurang baik. Ahh sudahlah bismillah saja. Semoga
tidak terjadi apa-apa. Kami pacu kendaraan dengan kecepatan konstan 70-80kpj
saja dengan Ayal di depan.
Dan
benar saja drama terjadi kemudian. Ketika hendak melewati sebuah mobil Ayal
sudah di depan dan melewati dengan aman. Nah kemudian saat saya hendak
mendahului tiba-tiba mobil tersebut memepet saya ke tengan jalur dan saya
terpaksa agak menghindar ke kanan. Celakanya ada pembatas jalan di depan
tersebut dan saya sudah tidak sempat lagi untuk mengelak. Kalau saya banting ke
kanan lebih berbahaya lagi karena bisa saja ditabrak oleh kendaraan dari arah
depan. Saya putuskan saat itu untuk mencoba mengerem saja namun yang namanya
maut sudah tidak bisa dielakkan lagi ban depan motor saya malah ngesot dan menghantam pembatas jalan
tersebut.
Saya
pun terguling dan bersyukurnya saya masih di tengan jalan dan mengangkat tangan
saya ke atas, masih teringat jelas diingatan saya ketika tangan saya persis
disamping pintu mobil yang lewat dari arah berlawanan. Kalau saya terguling
pasrah mungkin tangan saya sudah remuk dilindas mobil tersebut. Ayal tidak
sadar kalau saya terjatuh dan tetap melaju beberapa km ke depan. Saya akhirnya
dibantu oleh masyarakat sekitar. Beruntung sekali tinggal di Indonesia,
orangnya suka membantu sesama. Iya kan?
Setelah menenangkan diri sejenak sembari menginformasikan ke
Ayal, saya coba periksa kondisi kendaraan, cukup parah untuk ukuran saya.
Karena ini pertama kalinya saya mengalami kecelakaan seperti ini dan bersyukurnya
saya masih selamat tidak kurang suatu apapun. Tank bag sempat terlepas dan
robek di resletingnya, segitiga dan stang bengkok, knalpot lepas sambungannya,
headlamp pecah, foglamp mati sebelah, badan memar karena jaket juga robek.
“Ya Tuhan, ujian apa ini” gumam saya dalam hati sambal
istighfar, tidak berapa lama kemudian Ayal datang.
Dalam hati saya berpikir apakah bisa meneruskan perjalanan
ini, sudah pupus harapan mengingat kejadian yang terjadi tadi. Ayal kemudian
menyemangati saya, sudah sejauh ini pantang untuk putar balik. Betul juga ya
celotehan si anak Ambon ini.
“Bisa lanjut tidak?” celoteh Ayal
“Hmm… Sepertinya kita bisa lanjutkan dan kita perbaiki di
Bali saja.” jawab saya sedikit ragu, mengingat waktu yang semakin sore saya
yakinkan untuk perbaiki di Bali saja. Rasanya masih bisa untuk menaklukkan
jalan dari Probolinggo ke Bali dengan kondisi motor seperti ini. Saya mantapkan
hari dan coba membenahi motor sebisa mungkin. Knalpot yang terlepas kita
sambung dan perbaiki.
“Wah lampunya mati tidak bisa diandalkan, foglamp pun tidak
begitu terang” tukas saya
“Kita beriringan saja, mudah-mudahan aman” begitu ayal
menanggapi.
Saya yakin saja karena saya tahu si anak Ambon yang satu ini
pernah tinggal di Bali karena menghindari kerusuhan. Ya sedikit banyak dia
tahulah kondisi jalan di Bali nanti. Dengan sedikit keraguan saya hidupkan
mesin motor. Basmalah sambil tancap gas pelan.
Saya
pikir dari Probolinggo ke pelabuhan Ketapang sudah tidak jauh lagi, ternyata
salah kawan masih cukup lama, masih 149km lagi dan harus melewati hutan Baluran
yang bisa dibilang “seram”. Kami tiba di Paiton sekitar pukul 17.00 sore, jauh
meleset dari jadwal yang sudah kami rancang. Di Paiton ini terdapat sebuah PLTU
yang berdiri kokoh di pinggir laut di jalan Situbondo ini. Terlihat sangat
indah sore itu. Rasanya ingin berhenti untuk sekedar berfoto namun karena
jadwal yang sudah terlalu molor maka niatan itu saya urungkan.
Kami memutuskan untuk beristirahat di SPBU Utama Raya, salah
satu tempat favorit para rider yang ingin menyeberang ke pulau Bali, selain
fasilitas lengkap juga nyaman tempatnya. Disaat yang bersamaan juga banyak bus
Pariwisata yang mampir kesini. Wis rame tenan.
Setelah salat magrib kami melanjutkan perjalanan menuju
pelabuhan Ketapang, ada sedikit rasa takut berkecamuk didalam dada apalagi saya
pernah mendengar bahwa hutan Baluran yang kami lewati sangat sepi di malam hari
apalagi saat itu saya hanya mengandalkan foglamp sebagai penerangan. Benar saja
ketika melewati hutan Baluran yang sepi saya waspada sambil lihat kiri kanan
takut kalau ada bajing loncat, padahal sih kayaknya gak ada yah. Dibantu lalu
lintas yang tidak begitu sepi perasaan takut juga sedikit berkurang dan tidak
terasa kami tiba di pelabuhan Ketapan pada pukul 20.15 malam. Sekali lagi
syukur dalam hati karena selangkah lagi kami tiba di Pulau Bali, pencapaian
terbaru buat saya.
Penyeberangan yang singkat hanya 30 menit saja dari pelabuhan
Ketapang menuju pelabuhan Gilimanuk. Kami tiba sekitar pukul 21.00 malam.
Keluar pelabuhan biasanya kita akan diperiksa kelengkapan kendaraan dan
surat-menyurat. Mungkin untuk mencegah penyelundup ya. Sebenernya perut sudah
keroncongan tapi si partner kekeh bilang kalau Denpasar dekat hanya sebentar
kok. Ternyata saya ditipu. Hahaha. Dengan semangat yang kuat saya ingin sekali
mencapai Denpasar malam itu yang ternyata bisa 3 jam jarak tempuhnya dari
Gilimanuk. Asem tenan iki!
Kondisi jalan yang gelap dan banyaknya bis malam/pariwisata
yang mengambil lajur kami bahkan sampai terpaksa keluar jalan raya. Pengendara
juga harus waspada dengan banyaknya tikungan dan lubang yang siap menerkam
sepeda motor. Boks motor saya sempat terjun bebas karena saya menghantam lubang
karena tak sempat menghindar. Untung sempat berdiri untuk menjaga keseimbangan
motor. Kondisi boks motor gimana? Liat cerita esok hari ya tak kasih liat bekas
keganasan jalanan di Bali.
Selain kondisi jalan raya, polisi di Bali juga demen yang namanya razia, kami sempat
tertahan karena Ayal ternyata pakai spion ukuran kecil dan itu dipermasalahkan
disana. Percakapan yang saya ingat malam itu,
Pak Polisi : “Kenapa kamu pakai spion kecil seperti ini?”
Ayal : “Bapak jangan tanya saya, bapak Tanya kenapa masih ada
yang jual dan diperbolehkan!”
Pak Polisi : “Ah sudah saya malas berdebat dengan kamu, pergi
sana!”
Hahahaha. Pak polisi gak tau ya lagi ngomelin siapa.
Kami tiba di Denpasar sekitar pukul 12.00 malam kemudian
menuju sebuah restoran fast food karena sudah lapar sekali.
Apakah perjalanan kami sampai disini saja? Tunggu cerita
selanjutnya